Pangan dan Perubahan Iklim

TENTANG PANGAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Oleh: Lia Asmira

Kelaparan dan keberlanjutan sistem pangan merupakan salah satu masalah internasional paling mendesak yang dihadapi dunia saat ini. Yap, orang awam banyak menyebutnya "krisis pangan", beberapa orang menyebutkan "food estate" sebagai solusi dari ancaman ini. Jangan lupa dengan tujuan "Swasembada pangan" jika mengingat kata krisis pangan.

saat mengingat sate atau nasi goreng yang aku makan dan tidak pernah menghabiskannya, aku juga merasa kalau aku sudah sangat jahat pada bumi.

Perubahan iklim menghadirkan tantangan yang signifikan untuk mengatasi masalah ini dengan mengancam pertanian melalui peningkatan intensitas badai dan kekeringan. Oleh karena itu, mitigasi perubahan iklim menjadi strategi penting untuk memastikan ketahanan pangan di seluruh dunia. Sistem pangan kita tidak hanya terancam oleh perubahan iklim, tetapi juga merupakan penyumbang utama gas rumah kaca. Tahukah kamu bahwa lebih dari 25% emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor pertanian (IPCC, 2014)? Ketika memperhitungkan seluruh "rantai nilai pertanian-pangan" (yang mencakup deforestasi yang disebabkan oleh pertanian, pengolahan makanan, pengemasan, transportasi, dan limbah), menurut TEEB Tahun 2018, angka ini meningkat dua kali lipat menjadi 43-57%

secara garis besar, emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian  dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama:
    1.Pembuatan makanan: Pembuatan pupuk dan pestisida menyumbang 13% emisi gas rumah kaca pertanian dan menyebabkan tanah melepaskan gas rumah kaca (N2O) (Scherbak et al., 2014).
    2.Pemilihan makanan: Mengikuti pola makan vegetarian dapat mengurangi jejak karbon makanan Anda hingga setengahnya (Tilman & Clark, 2014). Hal ini dikarenakan dua pertiga gas rumah kaca yang berhubungan dengan pertanian berasal dari peternakan (Tubiello et al. 2014). Gas rumah kaca yang kuat seperti metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan karbon dioksida (CO2) dilepaskan oleh hewan-hewan ruminansia seperti sapi, domba, kambing, dan kerbau. Selain itu, proses pencernaan hewan ruminansia menghasilkan CH4 dalam jumlah besar, dan kotoran ternak melepaskan N2O dan CH4 dalam jumlah besar.
    3.Limbah makanan: Di Amerika Serikat, 40% makanan dari peternakan terbuang sia-sia, dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir, di mana makanan tersebut membusuk dan melepaskan metana, gas rumah kaca yang kuat. Gas rumah kaca yang dilepaskan dari tempat pembuangan akhir menyumbang 5% emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat, menjadikannya kontributor terbesar kedua terkait makanan setelah peternakan (EPA, 2014). Menurut FAO (2011), di negara berkembang, makanan cenderung terbuang sia-sia karena adanya tantangan dalam memanen dan mengangkutnya ke pasar, sementara di negara maju, lebih banyak makanan yang terbuang setelah dibeli.

#seharimenulis #tulisanbercerita #pertaniandanlingkunganhidup 

Komentar

Postingan Populer